05 May 2018

Lelah Yang Membahagiakan


Hallo Ibu Pintar !! Di zaman now. Saat semua orang berhitung tentang untung rugi, atau istilah kerennya take and give, apa masih ada orang yang benar-benar ikhlas memberi tanpa meminta? Mungkin ada yang menjawab ‘sedikit’, atau ‘nggak ada lagi’, atau ‘itukan sudah gaya hidup zaman now’. Untuk hal-hal yang berhubungan dengan cinta, hubungan interpersonal, bisnis, bahkan politik, istilah ini seringkali dipakai. Bahkan ada yang menggunakan istilah itu dalam hubungannya dengan (maaf) Tuhan. Istilah yang berbahaya kalo menurut saya. Take and Give, mengambil dan memberi. Mengambil dulu baru memberi? Wah… Apakah kita tidak akan memberi apa-apa sebelum mendapatkan sesuatu? Akhirnya, konotasi dari konsep tersebut akan menyimpulkan ‘Kita tidak akan membantu orang jika orang itu tidak mendatangkan keuntungan apapun pada kita’, ‘Kita tidak akan sudi melakukan shalat, menyembah-nyembah Tuhan jika Tuhan belum memberikan apa yang kita mau’. wah bisa bahaya kan?!
Lalu kenapa judul tulisan saya di atas Lelah yang membahagiakan?. Konsep sebenarnya, saya  ambil dari keikhlasan. Banyak kok yang masih mau memberi tanpa meminta, menolong tanpa pamrih, membantu tanpa mengharapkan apa-apa. Seperti orang tua kepada anaknya, Ibu untuk anak-anaknya. Guru juga banyak yang mengabdi tanpa mengharapkan balasan dari murid-muridnya. Ada juga sukarelawan-sukarelawan yang membantu banyak orang yang sedang terkena bencana alam misalnya, atau membantu orang-orang yang susah dalam naungan organisasi social. Bahkan ada dokter yang mengobati pasiennya tanpa dibayar. Dan masih banyak lagi.
Oh ya Ibu Pintar, tulisan saya kali ini akan memfokuskan tentang Ibu, ‘Sang surya yang selalu menyinari dunia’. Menjadi ibu adalah sebuah keputusan yang semua wanita akan jalani, khususnya di Indonesia. Sudah kodrat kita sebagai wanita akhirnya akan menjadi Ibu. Namun perjuangan ibu bukan hanya soal mengandung dan melahirkan. Merawat bayi dan membesarkan. Ibu adalah sosok yang sangat Multitasking.
Wanita selalu identik dengan label ‘Lemah Lembut’. Tapi saat kita bicara tentang Multitasking tadi maka sosok ibu menjadi sangat kuat. Jika sebuah rumah kita samakan dengan satu perusahaan, maka tugas ibu bisa menjadi Manager perusahaan itu. Ia juga memegang kepala keuangan, Chef cooking, bosnya cleaning service, baby sitter 24 jam, tukang ojek atau personal driver. Kalo jalan-jalan dia jadi pemilik traveller. Dan banyak lagi tugasnya. Dan itu dilakukan sehari 24 jam, seminggu 7 hari, tanpa ada waktu break dan cuti. 24 jam ready to serve. Tidak ada keluhan. Malah lelahnya itu menjadi kebahagiaan baginya, bila semua yang dilakukannya bisa:
·         Membuat suami tersenyum,
·         Rumah yang bersih,
·         makanan yang sehat dan bergizi
·         serta anak-anak yang sehat dan pintar.
Ibu juga seorang yang sangat smart dalam mengatur keuangan. Saat kekurangan atau kelebihan ia bisa mengaturnya menjadi cukup untuk keluarganya.
Ibu adalah smart ladies yang mampu membuat anaknya menjadi
·         smart kid dengan didikannya,
·         healthy kid dengan makanan-makanannya,
·         dan discipline kid dengan aturan-aturannya
 Dan jangan lupa Ibu Pintar, ibu juga disebut madrasatul ula; sekolah yang pertama. Sebab sejak bayi, anak belajar dari ibunya; kebiasaan, kata-kata, dan keteladanan. Bahkan keimanan.
Lalu sejarah pun mencatat, betapa banyak pahlawan besar lahir dari rahim dan didikan wanita-wanita mulia. Mereka bukan hanya menjadi ibu biologis, namun juga ibu ideologis. Mereka bukan hanya mengantarkan anak-anaknya tumbuh sehat namun juga memiliki ideologi kuat. Mereka bukan hanya membesarkan fisik anak-anaknya namun juga membesarkan cita-cita dan obsesi mereka.
Siapa pun kita, apa pun yang kita capai hari ini, semuanya tak lepas dari peran ibu. Maka Rasulullah pun mewasiatkan agar kita memuliakan dan berbakti kepadanya. Bahkan ibulah yang disebut tiga kali ketika seorang sahabat bertanya kepada siapa aku harus berbakti: “ibumu”, “ibumu”, kemudian “ibumu.” Setelah itu baru, “ayahmu.”
Ibu juga merupakan sosok yang sangat kuat dalam membela dan membesarkan anaknya. Saya akan mengambil tiga contoh ibu kuat dari banyak ibu kuat lainnya dalam sejarah islam,
Ø  Ayarikha, ibunda Nabi Musa AS – demikian namanya seperti dikutip Ibnu Katsir dalam ‘Qashashul Anbiya’– keadaannya saat itu sangat berat. Musa yang baru dilahirkannya, terancam dibunuh rezim Fir’aun, sebagaimana bayi laki-laki lainnya. Maka ia pun mengikuti ilham yang diterimanya, memasukkan Musa ke dalam peti dan menghanyutkannya ke sungai. Ia menjalani perannya dengan keikhlsan dan keyakinan hanya kepada Allah semata. Sehingga Musa AS selamat dan tumbuh menjadi seorang nabi yang mempunyai keteguhan iman yang kuat dan berani dalam menghadapi tantangan saat menyampaikan kebenaran.
Ø  Asma’ binti Abu Bakar. Saat itu usianya telah senja, hampir 100 tahun menurut Mahmud Al Mishri dalam Shahabiyat hawlar Rasul. Ia juga dalam kondisi sakit saat pasukan Al Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi menyerbu Makkah Al Mukarramah memburu putranya, Abdullah bin Zubair. Dalam momen-momen mengharukan itulah terucap kalimat Asma’ yang mengabadi hingga zaman ini: “Isy kariman au mut syahidan.” Hidup mulia atau mati syahid. Semboyan yang kemudian menjadi semangat Abdullah bin Zubair untuk bertempur hingga titik akhir.
Ø  Ummu Nidhal, nama aslinya Maryam, dialah istri Asy Syahid Fathi Farhat. Tak hanya mendukung suami menjadi syahid, Ummu Nidhal juga mempersembahkan seluruh anaknya menjadi mujahid. Enam putra dan empat putri, seluruhnya masuk Izzudin Al Qasam. Tiga putranya telah syahid; Nidhal, Muhammad dan Rowad. Dan saat Akhwat lain pernah mengungkapkan bela sungkawa karena putranya syahid, ia berkata “Jika engkau mau menyampaikan bela sungkawa, maka pulanglah. Namun jika engkau mau menyampaikan selamat atas syahidnya putraku, aku akan menyambutmu.”
Wallahu A'lam Bishawab, Sejarah dari ibu para pejuang islam bisa menjadi inspirasi bagi ibu zaman now. Ke ikhlasan mereka membesarkan dan mendidik mereka tanpa pamrih menjadi contoh nyata bahwa peran ibu adalah sangat penting.
Oke Ibu Pintar, perbanyaklah berbuat kebaikan. Jangan menghitung-hitung untung ruginya. Lakukan saja dengan hati yang ikhlas, agar bisa menjadi contoh untuk anak-anak kita nanti dalam menjalani hidup mereka di masa depan.
Ratna Smadjid, 5 Mei 2018